DAY EIGHT: TERUS AKU KUDU PIYE JAL?
Singkat cerita kejadian ini sebenarnya sudah terjadi beberapa hari yang lalu tepatnya Senin, 10 September 2018 (Hari Kecepit Nasional) cuman baru sempet tercurahkan dalam tulisan malem ini.
Singkat cerita tuh tiap si Mas pulang sekolah saya selalu periksa isi tasnya, cek satu persatu bukunya, alat tulisnya masih lengkap atau raib. Saya suka cek pekerjaan rumah dia dimana kalau dapat PR sebisa mungkin dikerjakan saat itu juga sepulang sekolah supaya terbiasa untuk tidak menunda-nunda pekerjaan.
Kali ini saya tidak menemukan buku tulis tematiknya yang setelah saya tanyakan ternyata dikumpulkan di guru kelasnya.
Singkat cerita tuh tiap si Mas pulang sekolah saya selalu periksa isi tasnya, cek satu persatu bukunya, alat tulisnya masih lengkap atau raib. Saya suka cek pekerjaan rumah dia dimana kalau dapat PR sebisa mungkin dikerjakan saat itu juga sepulang sekolah supaya terbiasa untuk tidak menunda-nunda pekerjaan.
Kali ini saya tidak menemukan buku tulis tematiknya yang setelah saya tanyakan ternyata dikumpulkan di guru kelasnya.
Belum dihujani pertanyaan yang aneh-aneh ehh dia lebih dulu meminta maaf ke saya dan dengan polosnya menyampaikan,
"Ma, maaf aku tadi ndak nulis"
"Lho kenapa??"
Bisa dibayangkan ekspresi saya bagaimana kan??😆....
"Mama jangan marah ya"
Dia ngomong gitu malah gimana saya bisa marah kan. Saya coba tarik nafas panjang, dan tetap menjaga kewarasan.
"Tenangg..... tenang.... everything is just fine"
"Tenangg..... tenang.... everything is just fine"
Saya coba nenangin diri sendiri dalam hati walaupun rasanya ubun-ubun ini udah hampir mendidih. Ahahahha.
"Mas kenapa ndak nulis?, sini coba cerita ke Mama"
Dia masih diam seribu bahasa, matanya melamun, kosong tanpa arah. Tapi tangannya dengan serunya mengayun-ayunkan sobekan kertas yang tampak kelihatan seperti burung.
"Yaaa Rabbiiiii......"
Tapok jidat sendiri si emak paham bangettt dah kali ini.
"Apa itu Mas?'
Kata itu mengarah pada burung kertas ala-ala yang dia mainkan dengan mata berbinar sedari pulang sekolah tadi.
"Ini burung garuda ku Maa"
"Aku bikin sendiri loh tadi Maa"
Kalau diilustrasikan mungkin saya lebih cocok modelnya semacam ditampar pake sendal trus jatuh ndelosor dan males bangun lagi kali yaah.
Ahhh ya Alloh, haruskah saya apresiasi tindakannya yang "menggemaskan" ini??
Pengakuan polos tidak menulis, menyobek halaman tengah buku untuk dijadikan DIY burung garuda ditengah pelajaran di kelas???
"Duh Gusti, dunanges rasaneeee...."
Sebisa mungkin akhirnya yang meluncur dari bibir saya hanya senyuman penuh kepasrahan.
"Mas, besok lagi bikin-bikinnya kalau sudah selesai nulis yaa"
Memilih arahan kata dan instruksi sejelas mungkin untuknya. Kali ini saya pun tidak segan untuk menceritakan kekecewaan saya padanya.
"Mama sedih kalau Mas di kelas ndak dengerin perintah Bu Guru"
Dia masih tak berkata-kata.
Sampai akhirnya saya akhiri dengan sebuah harapan besar untuknya.
"Besok lebih rajin ya nulisnya Mas"
Merasa suatu kalimat yang lebih baik selain,
"Besok ndak boleh diulangi lagi ya Mas"
"Mas kenapa ndak nulis?, sini coba cerita ke Mama"
Dia masih diam seribu bahasa, matanya melamun, kosong tanpa arah. Tapi tangannya dengan serunya mengayun-ayunkan sobekan kertas yang tampak kelihatan seperti burung.
"Yaaa Rabbiiiii......"
Tapok jidat sendiri si emak paham bangettt dah kali ini.
"Apa itu Mas?'
Kata itu mengarah pada burung kertas ala-ala yang dia mainkan dengan mata berbinar sedari pulang sekolah tadi.
"Ini burung garuda ku Maa"
"Aku bikin sendiri loh tadi Maa"
Kalau diilustrasikan mungkin saya lebih cocok modelnya semacam ditampar pake sendal trus jatuh ndelosor dan males bangun lagi kali yaah.
Ahhh ya Alloh, haruskah saya apresiasi tindakannya yang "menggemaskan" ini??
Pengakuan polos tidak menulis, menyobek halaman tengah buku untuk dijadikan DIY burung garuda ditengah pelajaran di kelas???
"Duh Gusti, dunanges rasaneeee...."
Sebisa mungkin akhirnya yang meluncur dari bibir saya hanya senyuman penuh kepasrahan.
"Mas, besok lagi bikin-bikinnya kalau sudah selesai nulis yaa"
Memilih arahan kata dan instruksi sejelas mungkin untuknya. Kali ini saya pun tidak segan untuk menceritakan kekecewaan saya padanya.
"Mama sedih kalau Mas di kelas ndak dengerin perintah Bu Guru"
Dia masih tak berkata-kata.
Sampai akhirnya saya akhiri dengan sebuah harapan besar untuknya.
"Besok lebih rajin ya nulisnya Mas"
Merasa suatu kalimat yang lebih baik selain,
"Besok ndak boleh diulangi lagi ya Mas"
Dan dia dengan mudahnya mengangguk dan janji pada saya untuk melakukannya.
We"ll see
We"ll see
Finger cross
Semoga Alloh memudahkan.
Amiiinnn
I know your exact feeling mbak :)
BalasHapusHug Mbak Desy huhuuuu. I need advice please :)
Hapus